Pendidikan merupakan fondasi penting dalam pembentukan karakter dan pengetahuan generasi muda. Di Indonesia, orang tua memiliki pilihan antara sekolah formal dan homeschooling (pendidikan di rumah) sebagai jalur pendidikan bagi anak. Keduanya memiliki karakteristik berbeda, baik dari segi kurikulum, interaksi sosial, kerangka hukum, hingga tantangan yang dihadapi. Artikel ini akan membahas perbedaan mendasar antara kedua sistem tersebut untuk membantu orang tua memahami opsi yang sesuai dengan kebutuhan anak.
Sekolah formal di Indonesia mengacu pada kurikulum nasional yang ditetapkan Kementerian Pendidikan, seperti Kurikulum Merdeka atau Kurikulum 2013. Pembelajaran berlangsung secara terstruktur dengan alokasi waktu, mata pelajaran wajib, dan penilaian standar (uji kompetensi, ulangan harian, hingga ujian akhir). Guru sebagai fasilitator harus memenuhi syarat sertifikasi profesi, sementara proses belajar mengajar diatur dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Di sisi lain, homeschooling memberikan fleksibilitas dalam penyesuaian kurikulum sesuai kebutuhan peserta didik. Keluarga dapat merancang program belajar berbasis minat, bakat, atau kekhususan anak (misalnya, anak berkebutuhan khusus atau atlet muda). Meski demikian, homeschooling di Indonesia tetap harus memenuhi standar minimal yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah. Orang tua atau tutor yang ditunjuk wajib menyusun Rencana Pembelajaran Mandiri (RPM) dan melaporkannya ke dinas pendidikan setempat. Namun, tidak ada kewajiban mengikuti kurikulum utuh seperti sekolah formal, asalkan capaian kompetensi inti terpenuhi.
Sekolah formal menawarkan lingkungan sosial yang kaya melalui interaksi langsung dengan teman sebaya, guru, dan kegiatan ekstrakurikuler. Struktur kelas yang padat memacu keterampilan kolaborasi, manajemen konflik, dan adaptasi dalam kelompok. Hal ini dianggap penting dalam pembentukan kepribadian sesuai nilai-nilai sosial budaya Indonesia.
Sebaliknya, homeschooling sering dikritik karena minimnya kesempatan bersosialisasi. Namun, kelemahan ini dapat diatasi melalui pendekatan kreatif seperti bergabung dengan komunitas homeschooler, partisipasi dalam kegiatan masyarakat, atau kelas kooperatif (co-op) dengan keluarga lain. Tantangannya, orang tua harus aktif merancang aktivitas yang memupuk kemampuan interpersonal anak. Bagi anak dengan kebutuhan khusus atau trauma sekolah, homeschooling justru memberikan ruang aman untuk tumbuh tanpa tekanan lingkungan yang tidak mendukung.
Sekolah formal bersifat wajib di Indonesia berdasarkan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Setiap lembaga pendidikan formal harus memiliki izin operasional, akreditasi, dan mematuhi standar nasional pendidikan. Lulusan sekolah formal secara otomatis memperoleh ijazah yang diakui negara tanpa prosedur tambahan.
Sementara itu, homeschooling diakui sebagai bagian dari Pendidikan Informal dalam Pasal 26 UU yang sama. Orang tua wajib mendaftarkan rencana pembelajaran ke dinas pendidikan kabupaten/kota dan mengikuti pendampingan dari tenaga profesional. Untuk memperoleh sertifikat resmi, peserta homeschooling harus mengikuti Ujian Kesetaraan (Paket A, B, atau C) yang diselenggarakan oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Proses ini memastikan kompetensi anak setara dengan lulusan sekolah formal, meskipun jalurnya berbeda.
Dalam sistem homeschooling, orang tua menjadi aktor utama yang bertanggung jawab penuh atas proses belajar mengajar. Mereka perlu memahami metodologi pengajaran, menyusun materi, dan mengevaluasi kemajuan anak. Bagi keluarga dengan keterbatasan waktu atau pengetahuan akademis, opsi ini bisa menjadi beban. Biaya homeschooling pun bervariasi: tergantung pada keputusan apakah orang tua menjadi guru utama atau menyewa tutor privat. Di sisi lain, sekolah formal mengalihkan tanggung jawab pengajaran ke guru profesional, sehingga orang tua lebih fokus pada pendampingan eksternal. Biaya pendidikan formal umumnya terjangkau di sekolah negeri, tetapi bisa melonjak di institusi swasta ternama.
Sekolah formal menghadapi kritik terkait keseragaman pendekatan yang kurang responsif terhadap kebutuhan individu siswa. Kelas dengan jumlah murid besar (40-50 orang) sering menyulitkan guru memberikan perhatian personal. Selain itu, sistem nilai berbasis ujian berisiko menciptakan stres akademis pada anak.
Sementara itu, homeschooling rentan terhadap ketidakonsistenan jika tidak dikelola dengan disiplin. Orang tua mungkin kesulitan memisahkan peran sebagai pengasuh dan guru, terutama saat anak mengalami fase resistensi belajar. Di level makro, minat masyarakat terhadap homeschooling masih rendah karena kurangnya pemahaman tentang legalitasnya. Beberapa kalangan juga khawatir sistem ini memperlebar kesenjangan akses pendidikan bagi keluarga kurang mampu.
Pemilihan antara homeschooling dan sekolah formal harus didasarkan pada karakteristik anak, kapasitas keluarga, dan tujuan pendidikan jangka panjang. Homeschooling cocok untuk anak dengan kebutuhan spesifik (misalnya, bakat seni atau olahraga yang intensif), kondisi kesehatan khusus, atau keluarga yang mengutamakan nilai-nilai keagamaan dalam pembelajaran. Sementara sekolah formal ideal bagi orang tua yang memprioritaskan pengembangan sosial melalui interaksi beragam dan ingin menghindari beban pengelolaan kurikulum mandiri.
Pemerintah Indonesia sendiri terus mendorong inovasi pendidikan inklusif. Melalui program Sekolah Penggerak dan Kurikulum Merdeka, sekolah formal kini lebih fleksibel dalam mengakomodasi gaya belajar siswa. Di sisi lain, regulasi homeschooling terus disempurna untuk memastikan kualitas tanpa mengorbankan kebebasan berpendidikan.
Baik homeschooling maupun sekolah formal memiliki kelebihan dan tantangan yang perlu dicermati secara objektif. Kunci keberhasilan keduanya terletak pada komitmen untuk menempatkan kebutuhan anak sebagai prioritas utama. Bagi orang tua, penting untuk tidak hanya melihat aspek akademis, tetapi juga pertumbuhan emosional, spiritual, dan sosial sang buah hati. Dengan regulasi yang jelas dan kesadaran masyarakat yang meningkat, Indonesia berpotensi mengembangkan ekosistem pendidikan yang lebih beragam dan responsif terhadap kebutuhan zaman.